Abdul Aziz, Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga, yang membuat disertasi berjudul “Konsep Milk Al Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non-Marital” akhirnya angkat bicara. Ia meminta maaf kepada publik atas disertasinya yang kontroversial tersebut.
Abdul Aziz berjanji akan mengikuti prosedur kampus selanjutnya, termasuk merevisi tulisannya sesuai rekomendasi dari para penguji.
“Saya akan merevisi disertasi tersebut, berdasarkan kritik dan saran dari para promotor dan penguji dalam ujian terbuka, termasuk mengubah judul disertasi ini. Perubahan yang akan saya lakukan ada pada judul menjadi ‘problematika konsep Milk al Yamin dalam pemikiran Muhammad Syahrur’ dan menghilangkan beberapa bagian yang kontroversial di dalam disertasi,” katanya saat konferensi pers di UIN Sunan Kalijaga, Selasa (3/9)
disertasi mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abdul Aziz, menjadi buah bibir di kalangan para pemikir dan aktivis Islam. Banyak pertanyaan menyusul diloloskannya karya akademik itu.
“Apakah benar tulisan Abdul Aziz dalam rangka mengkritik pemikiran Syahrur? Membuktikan bahwa konsep Milkul Yamin versi Syahrur itu keliru? Atau menyatakan bahwa nikah nonmarital itu sah secara agama atas dasar konsep milkul yaminnya Syahrur?,” kata anggota Majelis Tafkir Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) Ustaz Wildan Hasan kepada Indonesia Inside, Jumat (30/8).
Dia mengapresiasi adanya kritik dan catatan para promotor dan penguji disertasi yang mengangkat keabsahan hubungan seksual nonmarital itu. Meski begitu, Wildan menilai sesuatu yang dikaji dan ditulis peserta disertasi tersebut memiliki tujuan.
Para tim penguji UIN Yogyakarta juga ikut mengkritik konsep Muhammad Syahrur terkait Milkul Yamin yang diangkat dalam disertasi Abdul Aziz. Gampangnya, mengupas tentang keabsahan seks di luar nikah sesuai syariat Islam. Para penguji yang meloloskan disertasi kontroversial itu pada dasarnya tidak setuju dengan konsep tersebut. Di lain sisi, masih perlu perbaikan atas adanya kekeliruan peneliti.
Pemikiran ini didasari oleh pendapat yang menyebutkan bahwa Milkul Yamin memperbolehkan hubungan seksual dengan budak perempuan melalui akad hak milik. Cara ini disebut tasarri atau Milkul Yamin. Kalau nikah dilakukan dengan wali, dua saksi, dan ijab kabul, maka tasarri atau milkul yamin dilakukan tanpa memerlukan itu semua. Namun dalam konteks kekinian, tidak ada lagi sistem tersebut seiring tiadanya perbudakan.
Konsep Milkul Yamin kemudian dikembangkan Muhammad Syahrur dalam konteks kekinian. Syahrur mengangkat konsep Milkul Yamin dalam kehidupan kontemporer dengan perkawinan yang bertujuan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis seperti nikah mut’ah dan semacamnya.
Nikah jenis ini hanya dilakukan di negara barat. Syahrur diketahui lama hidup di Rusia. Namun, kenapa ini menarik bagi peneliti?
Promotor Abdul Aziz, Dr Phil Sahiron, menyebutkan pemikiran Syahrur sangat problematik. Di mana terdapat subjektivitas penafsiran yang berlebihan yang dipengaruhi oleh wawasan tentang tradisi, dan sistem hukum keluarga di luar Indonesia.
Milkul Yamin yang sebelumnya dipahami sebagai pemilahan dengan budak, dipahami oleh Syahrur menjadi setiap orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual. Hal ini mengesampingkan objektivitas makna ayat Al-Quran.
Penguji lain, Dr Agus Najib memberikan kritik terhadap pemikiran Syahrur. Milkul Yamin sejatinya tidak hanya mengacu pada budak perempuan, tapi ada juga budak laki-laki yang dimiliki perempuan. Namun Syahrur hanya fokus pada budak perempuan saja.
Syahrur juga menyebutkan hubungan nonmarital ini dengan istilah aqd ihson atau “akad komitmen” namun tidak dijelaskan syarat dan rukun dari akad tersebut. “Kalaupun dianggap sebuah akad seharusnya dijelaskan juga syarat dan rukunnya,” katanya.
Yang ketiga, menurut Agus, pandangan Syahrur berangkat dari tradisi (urf) masyarakat barat yang mentolerir kumpul kebo. Tradisi semacam ini tidak diterima oleh masyarakat muslim.
Penguji lainnya, Prof Euis Nurlailawati menganggap konsep Milkul Yamin yang ditawarkan Syahrur sangat lemah dan tidak konsisten. Syahrur menawarkan konsep Milkul Yamin ingin melindungi institusi perkawinan yang diagungkan syariat untuk membentuk keluarga yang sakinah dan penuh kasih sayang. Namun Syahrur melihat banyak sekali pernikahan yang berakhir dengan kehancuran dan nestapa.
Konsep Milkul Yamin versi Syahrur ini malah melegitimasi hubungan seksual di luar nikah, di mana ia juga abai dengan tradisi Islam pada umumnya. Konsep ini juga tidak memenuhi standar kelayakan maslahah di mana perlindungan terhadap perempuan justru sebaliknya.
Masalah kemaslahatan juga disinggung oleh Dr Samsul Hadi, penguji lainnya. Menurut dia, konsep ini tidak sesuai dengah perwujudan kemaslahatan agama. Pengalihan makna tersebut mengakibatkan perempuan jadi korban.
Dalam aspek lain, konsep Syahrur tidak sesuai prinsip penghormatan terhadap kaum ibu, bahwa kemuliaan laki-laki bisa dinilai ketika ia memuliakan wanita.
Yang terakhir, Dr Alimatul Qibtiyah memahami Milkul Yamin versi Syahrur dalam perspektif kesetaraan gender. Ia melihat konsep yang ditawarkan Syahrur hanya menekankan kepada kriteria perempuan yang boleh dinikahi secara nonmarital, tidak melihat dampaknya.
Padahal dalam Islam, pernikahan sangat sakral dan kuat berdasarkan pada konsep kesalingan. Karena itu konsep pernikahan nonmarital tidak sesuai dengan pendapat ulama.
Sumber:
Sumber:
Komentar
Posting Komentar